1. Pengantar Tentang Kelompok Keahlian Estetika dan Ilmu-ilmu Seni

Kelompok Keahlian Estetika dan Ilmu-ilmu Seni (Aesthetics and The Sciences of Arts) adalah kelompok keahlian yang melingkupi wilayah kajian yang lebih bersifat keilmuan  dan berkaitan dengan praktik seni rupa  ia menjadi penafsir dan penjelas fenomena kehidupan seni rupa.

Tercakup dalam kelompok keahlian ini adalah wilayah keilmuan Sejarah Seni, Estetika, Kritik Seni, Antropologi Seni, Sosiologi Seni, Psikologi Seni, Filsafat Seni, dan Manajemen Seni yang selama ini telah mapan. 
Selain itu, keilmuan lain yang sangat terkait dengan seni rupa dan mulai di rintis adalah Semiotika dan Hermeneutika. Bila KK Seni Rupa lebih terkait dengan profesi kesenimanan, maka KK Estetika dan Ilmu-ilmu Seni banyak bergerak dalam wilayah keprofesian lainnya, seperti kritikus, sejarawan seni, kurator, dosen, manajer seni dan ahli konsevarsi seni.

Menimbang aspek penelitian dan pemberdayaan masyarakat, KK Estetika dan Ilmu-ilmu Seni tidak hanya bergerak dalam wilayah teoritik semata. 
Kajian yang bersifat lintas disiplin menjadi salah satu kunci penting. Kecenderungan semacam ini dapat dilihat dari banyaknya kajian yang membahas fenemona seni rupa dari berbagai sudut pandang dan pendekatan, seperti teori gender dan teori poskolonial. Selain itu, seni rupa saat ini telah menjadi wilayah kajian menarik karena ia tidak terlepas dari konteks ruang dan waktu di mana ia berada. 
Hal inilah yang menyebabkan seni rupa menjadi wilayah kajian strategis sebab bisa menjadi bagian dari wacana kultural. Contoh semacam ini tampak dalam fenomena seni rupa dewasa ini yang sangat lekat dengan wacana identitas kultural. 
Wilayah strategis ini menjadi tantangan bagi KK Estetika dan Ilmu-ilmu Seni dalam mengidentifikasi persoalan identitas kultural Indonesia di tengah iklim dunia di masa globalisasi. Antisipasi terhadap kenyataan inilah yang menjadi pertimbangan KK Estetika dan Ilmu-ilmu Seni dalam mengembangkan proyeksi kepakaran dan program-program penelitiannya. 
Di sisi lain, aspek yang terkait dengan wilayah pemberdayaan masyarakat dalam KK Estetika dan Ilmu-ilmu Seni dapat dilihat misalnya dalam Psikologi Seni yang berhubungan dengan seni sebagai terapi, atau dalam wilayah pendidikan seni sebagai ruang pembentukan kreativitas.


2. Catatan Tentang Makna dan Lingkup dari Bidang Estetika dan Ilmu- ilmu Seni.

Estetika adalah disiplin yang baru di Indonesia. Hingga kini masih sedikit tulisan-tulisan yang berkaitan dengan bidang ini. 
Beberapa buku tentang Estetika yang bersifat pengantar memang bermunculan pada tahun-tahun belakangan ini, tapi isinya terlalu umum bagi mereka yang memiliki minat kuat menerapkan estetika dalam penelitian seni. 
Istilah estetika itu kita adaptasi dari kata `aesthetics’ bahasa Inggris. Kata itu dalam tradisi bahasa Inggris juga sesuatu yang baru, diperkenalkan di sekitar 1830 (lihat T.J. Diffey, A Note on Some Meaning of The Term `Aesthetic ‘ dalam `British Journal of Aesthetics Vol. 35, No_ 1, January,1995).

Filosof yang pertama kali mempromosikan kata itu adalah Alexander Baumgarten (1714 - 1762), seorang filosof Mazhab Leibnitio-Wolfian Jerman dalam karyanya, Meditationes (1735). 

Dalam hal ini, perlu dibedakan arti kata yang dalam penggunaan di tingkat akademis sering dipercampurkan, yaitu kata sifat ‘aesthetic’’ diterjemahkan menjadi estetik dan kata benda ‘aesthetics’ diindonesiakan menjadi estetika.
Kata ‘aesthetic’, asalnya dari bahasa Yunani, ‘aesthetikos’ berarti `sesuatu yang dapat diserap ‘indera’, atau berkaitan dengan persepsi penginderaan, pemahaman, dan perasaan, lawan katanya yang lebih populer dalam penggunaan di dunia kedokteran adalah ‘anaesthetic’ , anestetik atau patirasa. 
Jadi, estetik adalah cara mengetahui melalui indera yang mendasar bagi kehidupan dan perkembangan kesadaran. Meskipun demikian, makna inderawi dari kata estetik dalam kehidupan sehari-hari pada saat ini semakin jarang dipakai. 
Kata estetik pada umumnya dikaitkan dengan makna ‘citarasa yang baik, keindahan dan artistik, maka estetika adalah disiplin yang menjadikan estetik sebagai objeknya.

Estetika, dalam tradisi intelektual, umumnya dipahami sebagai salah satu cabang filsafat yang membahas seni dan objek estetik lainnya. 
Dalam hal ini Louis Arnaud Reid memberikan batasan estetika filosofis sebagai disiplin yang mengkaji makna istilah-istilah dan konsep-konsep yang berkenaan dengan seni. Cara kerja estetika filosofis dalam pemahaman Reid, pertama, menggali makna istilah dan konsep yang berkaitan dengan seni; kedua menganalisis secara kritis dan mencoba memperjelas kerancuan bahasa dan konsep-konsep; ketiga, memikirkan segala sesuatu secara koheren, sehingga, meskipun estetika memiliki sisi analitis dan sisi kritis, ia bertujuan untuk membangun suatu struktur gagasan positif yang memungkinkan beragam bagian memiliki keterpaduan yang utuh.

Meskipun kata ‘estetika’ itu baru diperkenalkan pada tahun 1735 oleh Baumgarten, bukan berarti bahwa estetika bermula dari masa itu. Estetika filosofis yang menjadi padanan kata filsafat seni bermula semenjak lahirnya filsafat dalam sejarah kemanusiaan. Hingga kini estetika atau filsafat seni telah membentuk akumulasi pengetahuan filosofis yang luas dan beragam. Ruang lingkup bahasan estetika filosofis mencakup berbagai segi seperti definisi seni, fungsi seni, dasar landasan keunggulan artistik, proses kreasi, apresiasi, dan prinsip-prinsip penilaian estetik.

Pendekatan estetika filosofis bersifat spekulatif, artinya dalam upaya menjawab permasalahan tidak jarang melampaui hal-hal yang empiris dan mengandalkan kemampuan logika atau proses mental. Estetika filosofis juga tidak membatasi objek permasalahan seperti halnya estetika keilmuan yang membatasi objek penelitiannya pada kenyataan-kenyataan yang dapat diindera. 
Secara mendasar estetika filosofis mencoba mencari jawaban tentang hakekat dan asas dari keindahan atau fenomena estetik. Dalam hal ini jawaban-jawaban dari pertanyaan itu dari para filosof dapat dikelompokkan dalam dua aliran besar, yaitu golongan filsafat Idealistis dan golongan filsafat Materialistis. Jawaban-jawaban para filosof dapat ditelusuri berasal dari gambaran-gambaran fikiran atau konsep-konsep. Plato yang dikenal sebagai tokoh filosof ldealisme, misalnya mengajukan konsep bahwa hakekat kenyataan itu adalah Idea (Bentuk). Pemahaman ini didasari oleh anggapan bahwa alam merupakan suatu kenyataan yang tidak sempurna, dapat rusak dan musnah, sehingga menurut Plato alam bukan kenyataan yang sesungguhnya, karena Realitas mestinya bersifat sempurna dan abadi, dan itu hanya ditemui pada kenyataan Idea. Bagi Plato, seni adalah tiruan (Imitasi) dari kenyataan Idea. Sebagai contoh Plato menunjuk tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu dan pelukis melukis tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu. Dalam hal ini lukisan merupakan tiruan dari tiruan, karena tukang kayu membuat tempat tidur berdasar pada Idea tentang tempat tidur yang merupakan Realitas Pertama, sedangkan pelukis justru meniru objek tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu yang merupakan Realitas Kedua. Tidak mengherankan Plato memberikan status yang rendah tentang posisi seni dalam hubungannya dengan Realitas. Menurut Plato seni tidak dapat diandalkan sebagai sumber pengetahuan Realitas. Pandangan ini sedikit berbeda dengan pemahaman Aristoteles yang juga meyakini bahwa seni adalah imitasi, tetapi karena proses imitasi itu melibatkan kemampuan akal dan roh manusia maka hasil karya seni memiliki keandalan yang sama sebagai sumber pengetahuan sebagaimana halnya kenyataan alam. Lebih jauh, Plotinus menafsirkan bahwa karya seni memiliki posisi yang lebih tinggi sebagai sumber pengetahuan dibanding alam karena dalam proses penciptaannya karya seni melibatkan unsur roh ketuhanan yang dimiliki manusia. Dalam tradisi seni Barat, ajaran seni sebagai Imitasi memiliki dampak yang luas dan panjang, seperti nampak pada dominasi gaya Realisme.

Di luar pemahaman seni sebagai Imitasi, estetika filosofis memiliki puluhan jawaban tentang hakekat seni dan keindahan. Melvin Rader, dalam bukunya A Modern Book of Esthetics menunjuk berbagai pengertian seni : seni sebagai Bentuk, Ekspresi, Ilusi, Jarak Estetik, Main, Kesenangan, Simbol, Keindahan, Emosi, Fungsi, Penyadaran dan lain sebagainya. Dalam konteks penelitian, metodologi atau pendekatan dalam estetika filosofis yang cenderung spekulatif dianggap tidak memenuhi standar penelitian ilmiah. Dalam hal ini, kita dapat melangkah pada pembahasan estetika yang lain yaitu estetika yang bersifat keilmuan. 
Terutama pada akhir abad 19 dan awal abad 20 berbagai cabang ilmu kemanusiaan dan ilmu sosial mulai mengarahkan minat pada fenomena seni sehingga secara berturut-turut dapat ditunjuk pertumbuhan sub-disiplin seperti Sejarah Seni, Antropologi Seni, Psikologi Seni, Sosiologi Seni, Manajemen Seni. 

Cabang-cabang disiplin ini selain disebut sebagai Estetika Keilmuan, juga sering disebut dengan ilmu-ilmu seni. Estetika keilmuan atau ilmu-ilmu seni ini dalam pendekatannya bersifat empiris dan mengikuti tahap-tahap penelitian ilmiah seperti observasi, klasifikasi data, pengajuan hipotesis, eksperimen, analisis, dan penyimpulan teori atau dalil. Selain itu, pendekatan empiris pada karya seni melahirkan disiplin lain mencakup kritik seni, morfologi estetik, dan semiotik.

Pengertian ‘llmu’ yang dipakai dalam konteks estetika keilmuan bukan dalam pengertian yang eksak sebagaimana ilmu alam. Thomas Munro seorang perintis dalam perkembangan estetika keilmuan memberikan suatu pandangan yang lebih konstruktif tentang arti kata ilmu sebagai cara berfikir yang secara berangsur berkembang dalam satu lapangan fenomena. Dalam hal ini, Munro mengartikan ilmu sebagai suatu cabang studi yang berkenaan dengan observasi dan klasifikasi fakta, khususnya dengan penetapan hukum-hukum yang teruji baik melalui induksi maupun hipotesis atau secara khusus, ilmu berarti pengetahuan yang disepakati dan terakumulasi serta disusun dan dirumuskan dengan merujuk kepada pendapatan kebenaran umum atau gerak hukum umum. 

Arti ilmu seperti ini memberi tempat bagi berkembangnya ilmu-ilmu seni, seperti Sejarah Seni, Antropologi Seni, Sosiologi Seni, Psikologi Seni dan lain sebagainya. Lebih jauh estetika keilmuan hendaknya tidak dipahami sebagai suatu subjek yang bertujuan menegakkan hukum universal tentang keindahan dan cita rasa yang baik yang dapat berlaku untuk semua orang, ataupun untuk membuktikan hendaknya seseorang memilih satu jenis seni dari yang lain. Dengan demikian ilmu-ilmu seni lebih dekat berada pada pengertian ilmu-ilmu kemanusiaan atau ilmu-ilmu sosial.

Estetika empiris atau estetika keilmuan digolongkan ke dalam 2 kelompok. 
Kelompok yang pertama tertuju pada karya seni sebagai objek pengetahuan dan mencakup Kritik Seni, Morfologi Estetik, Semiotika, Teknologi Seni dan Metodologi (Penciptaan) Seni. 
Sedangkan pada kelompok yang kedua dengan fokus objek pada kegiatan manusia dan seni, yang meliputi Sejarah Seni, Antropologi Seni, Sosiologi Seni, Psikologi Seni dan Manajemen Seni. 

Apabila di daerah asalnya yaitu negara Barat estetika keilmuan tergolong sebagai suatu disiplin yang masih baru berkembang, sekitar awal abad ke-20an, maka di Dunia Ketiga dan Indonesia pada khususnya, bidang estetika, baik yang filosofis maupun keilmuan masih dalam taraf pengenalan. 
Di perguruan tinggi filsafat ataupun ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu sosial disiplin ini belum banyak berkembang. Begitu juga di perguruan tinggi seni di Indonesia, pertumbuhan dan perkembangan estetika masih pada tahap permulaan. Kuliah-kuliah tentang estetika filosofis misalnya telah masuk dalam kurikulum di lembaga pendidikan tinggi seni pada masa 1970-an, termasuk Kritik Seni dan Tinjauan Seni.

Di Departemen Seni Rupa ITB misalnya pengajaran mata kuliah Antropologi Seni, Sosiologi Seni, dan Psikologi Seni baru diadakan pada dekade 1990-an. Pembentukan kelompok keahlian Estetika dan Ilmu-ilmu Seni baru terlaksana pada periode itu. Salah satu disiplin estetika empiris yang telah lama dipraktekkan di Indonesia adalah Kritik Seni. Bidang ini telah muncul pada awal lahirnya seni rupa modern pada dasawarsa 1930-an ketika Sudjojono yang juga seorang pelukis dan pendiri Persagi pada 1938 aktif menulis kritik terhadap peristiwa-peristiwa pameran pada masa itu.

Sesudah masa kemerdekaan tradisi kritik seni dalam bidang seni rupa diteruskan oleh tokoh-tokoh seperti Trisno Sumardjo, Kusnadi, Sitor Situmorang, dan pada periode 1970an muncul Sudarmaji, Sanento Yuliman, Agus Dermawan dan sebagainya. Diantara nama-nama kritikus di atas yang secara konsisten menulis kritik dengan pendekatan empiris dan diakui integritasnya adalah Sanento Yuliman. Sementara itu, di bidang Morfologi Estetik dan Semiotika masih belum berkembang secara berarti. Pada kelompok yang menyangkut interelasi kegiatan manusia dan seni, bidang yang relatif lebih berkembang adalah Sejarah Seni. Penelitian-penelitian tentang 
Sejarah Seni Rupa Indonesia baik periode masa lalu maupun masa kini cukup banyak dilakukan, bahkan bersamaan dengan pertumbuhan galeri dan meningkatnya frekuensi pameran karya seni serta penyerapan karya seni oleh para kolektor, para seniman baik yang senior maupun yang masih muda berinisiatif untuk menerbitkan buku-buku yang berkonotasi biografis kesejarahan. 

Begitu juga penelitian sejarah seni yang terkait dengan penulisan skripsi, tesis, ataupun disertasi cukup banyak dilakukan. Bersama dengan itu dibukanya berbagai perkuliahan Antropologi Seni, Sosiologi Seni, dan Psikologi Seni pada strata S1 mendorong minat bagi penelitian-penelitian di bidang itu.

http://www.google.co.id/search?um=1&hl=id&biw=1366&bih=582&q=www.johnlambai.com&ie=UTF-8&sa=N&tab=iw#q=www.johnlambai.com&hl=id&biw=1366&bih=582&prmd=ivns&ei=n89sTfS5FsHVrQe6no37Bg&start=10&sa=N&fp=b5c46c3eb817fac6
www.johnlambai.com